Sunday, January 2, 2011

[Hukum-Online] Menguasai PSSI, Mengabaikan Prestasi

 

Politisasi Sepak Bola (1)
Menguasai PSSI, Mengabaikan Prestasi
Didik Supriyanto - detikNews
 
Jakarta - Kekalahan telak 0-3 Indonesia atas Malaysia pada leg pertama final Piala AFF di Stadion Bukit Jalil, Malaysia, Minggu (26/12/2010) malam, menyadarkan semua orang, bahwa prestasi tim nasional masih belum sempurna. Media yang ikut membakar euforia massa, menjadi kecele; masalah-masalah nonteknis yang menjadi biang buruknya prestasi semakin nyata.

"Media terlalu banyak minta wawancara. Belakangan aktivitas federasi juga agak mengganggu kami. Kegiatan-kegiatan yang berlebihan dan tidak perlu," kata pelatih Indonesia Alfred Riedl usai pertandingan. "Saatnya memperlakukan para pemain supaya menginjak kaki di bumi lagi. Ini cuma permainan. Kadang Anda menang, kadang kalah," tegasnya.

Sebelum kekalahan semalam, prestasi tim nasional dalam Piala AFF menjadikan rakyat Indonesia demam sepak bola, sesuatu yang sudah hampir satu dasawarsa tidak terjadi.

Pembicaraan sepak bola terjadi di mana-mana, stadion selalu penuh, dan siaran langsung mendapatkan rating tinggi. Media massa melakukan publikasi secara meluas, hingga semua aspek sepak bola mulai dari strategi tim nasional hingga sisi pribadi pemain, tidak lepas dari pemberitaan dan ulasan.

Situasi itulah yang dimanfaatkan para pejabat untuk unjuk peduli. Presiden SBY yang tadinya kebingungan menghadapi kemelut PSSI, tampak antusias ketika bicara sepak bola. Di luar agenda, SBY menonton dua pertandingan semi final Indonesia vs Filipina di Senayan. SBY juga menyempatkan diri menyambangi tim nasional saat latihan.

Tidak hanya Menteri Pemuda dan Olah Raga Andi Mallarangeng yang datang mendampingi SBY menonton bola di Senayan, tetapi juga sejumlah tokoh pemerintahan, seperti Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, Ketua DPR Marzuki Alie, dll.

Tidak ketinggalan sejumlah politisi juga mewarnai tribun VVIP dan VIP. Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum bersama beberapa anggota DPP Partai Demokrat dan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie dan beberapa fungsionaris DPP Partai Golkar.

Lebi dari yang lain, Aburizal Bakrie juga mengundang jamuan makan para pemain bersama oficialnya di kediamannya. Bisa dibayangkan jika apa yang dilakukan oleh Ical tersebut juga diikuti oleh ketua umum partai lain. PSSI sulit menolak, akibatnya para pemain buyar konsentrasi.

Ical mendapatkan keistimewaan. Sebelum turnamen, atau sesudah terlempar dari turnamen atau memenangi turnamen, para pemain memang biasa dijamu atau dipestakan. Namun ketika sebuah tim yang masih konsentrasi memburu kemenangan, apalagi di partai final, siapa pun tidak boleh mengganggu. Tetapi rumus itu tidak berlaku bagi Ical.

Hal ini tentu saja tidak lepas dari posisi Ketua Umum PSSI Nurdin Halid. Sebab dia memiliki hubungan dekat dengan Ical. Bukan sekadar teman bisnis, tetapi juga teman partai. Nurdin adalah salah satu anggota DPP Partai Golkar, yang juga dikenal sebagai tim sukses Ical dalam memperebutkan kursi ketua umum. Faktor lain, pengaruh Nirwan Bakrie. Adik Ical ini sudah lama mengurusi PSSI bersama Nurdin Halid, yang disebut-sebut telah menggelontorkan banyak dana untuk PSSI.

Undangan jamuan makan Ical kepada tim nasional itulah yang kemudian menimbulkan banyak pertanyaan. Bukan sekadar soal privilege dan mengganggu konsentrasi pemain, tetapi juga soal pemanfaatan tim nasional untuk kampanye partai politik.

Pemanfaatan dunia olah raga untuk kepentingan politik memang bukan hal aneh. Itulah sebabnya di banyak negara, organisasi olah raga selalu diurus oleh orang-orang nonpolitik. Lagi-lagi di Indonesia hal itu menjadi perkecualian. Lihatlah pengurus PSSI. Tak hanya Nurdin Halid yang mengurus Partai Golkar, tetapi juga sejumlah nama pengurus partai lain.

Sampai sebelum kekalahan Minggu malam, prestasi tim nasional tak hanya dijadikan ajang pamer para politisi, tetapi juga unjuk kekuatan untuk menguasai PSSI. Nurdin Halid, meskipun dimusuhi banyak orang, termasuk komunitas olah raga dan penggemar sepak bola, nyatanya sulit digusur. Namun cepat atau lambat dia harus turun, sebab dalam Kongres PSSI tahun depan tidak mungkin lagi mempertahankan Nurdin yang sudah dua kali menjadi ketua umum.

Siapa yang akan menggantikannya? Sekali lagi, ini bukan sekadar soal mencari figur cakap untuk mengurus sepak bola nasional. Lebih dari itu, jabatan itu memerlukan dukungan politik kuat. Dalam hal ini, Partai Golkar yang sudah lama bercokol menguasai PSSI tentu tidak mau begitu saja memberikan jabatan itu kepada orang lain. Kegagalan menggusur Nurdin Halid adalah pertanda jelas.

Lalu siapa yang hendak disorong SBY dan Partai Demokrat? Ada beberapa nama, tetapi belum tentu berhasil menandingi calon Partai Golkar. Sebab, kali ini bukan sekadar pertarungan memperebutkan simpati pemilih yang gampang diarahkan oleh kampanye lewat media, tetapi memperebutkan suara para pengurus daerah PSSI dan manajer klub, yang sudah lama terbiasa terlibat jual beli suara saat kongres.

Melihat suasana redup seperti itu, sungguh menarik mengikuti persiapan Liga Primer Indonesia (LPI) yang digagas oleh pengusaha Arifin Panigoro. Dia bersama kawan-kawannya berusaha menerapkan prinsip-prinsip profesionalisme dalam pengelolaan sepak bola demi mengejar prestasi. Namun masa depan proyek Arifin tersebut sangat tergantung pada siapa penguasa PSSI nanti. Sekali lagi, kalkulasi politik yang menentukan.
 
(diks/fay)

__._,_.___
Recent Activity:
SARANA MENCARI SOLUSI KEADILAN HUKUM DI INDONESIA
Mailing List Hukum Online adalah wadah untuk saling bertukar pikiran dan berkonsultasi untuk saling membantu sesama. Isi diluar tanggung jawab Moderator.

Sarana berdiskusi dengan santun, beretika dan bertanggung-jawab serta saling menghargai dan tidak menyerang hasil pemikiran orang / pendapat orang lain.

Salam Hukum Online
.

__,_._,___

No comments:

Google