Thursday, December 16, 2010

[Hukum-Online] RE: Kehormatan Garuda

 

 

umat, 17/12/2010 09:43 WIB
Kehormatan Garuda 
Bobby R Manalu - suaraPembaca

http://suarapembaca.detik.com/images/content/2010/12/17/471/20101217-bobby-manalu-d.jpg

Jakarta - Apa yang dijamin oleh demokrasi. Pertama-tama bukan kesejahteraan melainkan ruang demokratis. 

Setiap gagasan dapat disangkal oleh gagasan lain melalui jalan persuasi dan argumentasi. Demokrasi adalah arena saling bantah, gugat, dan kritik tanpa kekerasan yang akan membawa masyarakat ke tingkat peradaban yang lebih tinggi (Gahral Adian, 2010). 

Untuk menjamin hal tersebut terselenggara maka hukum menjadi pengawalnya. Dalam konteks seperti inilah gugatan yang diajukan David Tobing (DT) terhadap Pengurus Persatuan Sepakbola Indonesia (PSSI) kita tempatkan. Hal ini disampaikan ulang agar kita tak mudah jatuh dalam kubangan caci-maki dalam memberikan tanggapan.
 
Yang disampaikan dalam tuntutannya sederhana: PSSI (juga Presiden RI, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Pemuda dan Olahraga, juga PT Nike) melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum (Pasal 51 jis. 52 jis. 57 jis. 65 Undang-Undang No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu kebangsaan). Sebab, menggunakan lambang negara (Burung Garuda) di baju tim nasional sepak bola (timnas) kita yang saat ini sedang "bertarung" di Piala AFF. 

Gugatan ini menarik untuk didiskusikan daripada sekedar ditertawakan. Memang, kalau ada masyarakat yang mengatakan mencari "sensasi" sebab diajukannya tepat di tengah euforia masyarakat dalam menumpahkan kecintaannya pada timnas yang mulai unjuk gigi, ya, tentu boleh-boleh saja. 

Begitu pun kalau ada yang mengatakan "genit" karena dirasa mencari-cari publikasi atawa strategi "jualan" juga sah-sah saja. Namun, apabila kita telusuri dan baca rekam-jejak beliau hal tersebut terasa bias. Sebab, beliau adalah satu dari sedikit Advokat senior mapan yang mau turun, terlibat, dan memikirkan kepentingan rakyat banyak yang kerap kali berposisi sebagai konsumen rentan jika berhadapan dengan para pelaku usaha. Walaupun mungkin kita tak setuju dengan substansi tuntutannya tapi perlu sebagai pengingat.
 
Sebelumnya belum pernah membaca secara utuh gugatan yang "dilayangkannya" tersebut. Bagaimana deskripsi lengkap dari adanya perbuatan yang bertentangan dengan hukum belum tahu. Tapi, dalam rangka urun rembug untuk diskusi ada sisi menarik yang bisa dicermati. Apalagi bagi pihak-pihak yang berkeinginan menyangkal gugatan ini dengan argumentatif. Yang mencuri perhatian adalah format pengajuan tuntutan yang dibungkus dalam gugatan citizen lawsuit (CLS). 

Bagi mereka yang berkecimpung dalam ranah hukum "frase" tersebut mungkin tak asing namun tak begitu bagi sebagian masyarakat lainnya. Ada dugaan gugatan ini akan mendapat "rintangan" terbesar untuk dapat diterima atau dikabulkan oleh para pengadil karena "bungkusnya" tersebut.
 
Citizen lawsuit pada intinya merupakan mekanisme atau akses bagi warga negara untuk menggugat tanggung jawab penyelenggara negara atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga negara. Kelalaian tersebut didalilkan sebagai perbuatan melawan hukum sehingga CLS diajukan pada lingkup peradilan umum. Dalam hal ini perkara perdata.

Oleh karena itu, atas dasar kelalaiannya, maka dalam tuntutannya, negara dihukum untuk mengeluarkan suatu kebijakan yang bersifat mengatur agar kelalaian tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari. Mekanisme ini ditujukan bagi perlindungan kepentingan publik. Agar warga negara terhindar dari kerugian sebagai akibat dari kelalaian penyelenggara negara(Susanti Nugroho, 2010). 

Gugatan ini dalam sejarahnya pertama kali diajukan terhadap permasalahan pencemaran lingkungan hidup di Amerika Serikat. Kemudian mengalami perkembangan sehingga tidak lagi hanya diajukan dalam perkara lingkungan tetapi pada semua bidang di mana negara dianggap
melakukan kelalaian dalam memenuhi hak warga negaranya.
 
Dalam sistem hukum kita mekanisme CLS belumlah mendapat pengaturan. Yang baru kita kenal adalah mekanisme pengajuan gugatan perwakilan kelompok atau akrab dikenal dengan sebutan Class Action. Meskipun secara formil belum diatur dalam praktik pengadilan kasus gugatan CLS telah beberapa kali didaftarkan. Setidaknya, terdapat catatan beberapa gugatan CLS yang telah diajukan. 

Publik mungkin pernah membaca pemberitaan terbaru mengenai diajukannya gugatan CLS oleh beberapa ekonom terhadap PT Krakatau Steel terkait proses penawaran umum (IPO) yang dilakukannya. DT juga sebelumnya pernah mengajukan gugatan CLS kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) akibat kerap "byar pet"-nya pasokan listrik. 

Ada juga gugatan CLS terhadap divestasi Indosat, kenaikan harga BBM, Operasi Yustisi, dan Exxon Mobile. Gugatan CLS yang paling terkenal dan bahkan sempat "dikabulkan sebagian" oleh pengadilan adalah gugatan CLS oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta atas penyelenggaraan ujian nasional.

Pengadilan memerintahkan pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan penyelenggaran ujian nasional. Gugatan CLS lainnya yang diterima adalah dalam kasus tragedi Nunukan oleh Munir cs.
 
Meskipun sudah beberapa kali diajukan bahkan ada yang dikabulkan sesungguhnya model pengajuan gugatan demikian belum "patut diterima". Apalagi kita tak kenal prinsip "the binding of precedent" (terikat putusan hakim sebelumnya). Setidaknya ada dua argumentasi hukum yang bisa kita kemukakan. 

Pertama, secara yuridis-formal, sedangkan argumentasi kedua, diambil dari tataran teoritis-praktis. Sebab, secara formil belum ada aturan yang mengakuinya.
 
Hukum atau peraturan yang mengatur cara melaksanakan tuntutan hak merupakan "aturan permainan" (spelregels) dalam melaksanakan tuntutan hak itu. Sebagai aturan permainan dalam melaksanakan tuntutan hak maka hukum acara perdata mempunyai fungsi yang penting. Sehingga, harus bersifat strict, fixed, correct, pasti, tidak boleh disimpangi, dan harus bersifat imperatif (memaksa). 

Hakim harus tunduk serta terikat padanya dan tidak boleh bebas menafsirkannya. Apalagi menggunakan atau mengadopsi lembaga hukum acara dari luar (Soedikno, 2006). Dengan demikian hakim tidak diperbolehkan untuk melakukan penemuan hukum dalam bidang hukum formil dalam hal ini hukum acara perdata. 

Sebaliknya hakim hanya diperbolehkan untuk melakukan penemuan hukum di bidang hukum materiil. Itu pun dengan tidak asal mengadakan "penemuan" atau "terobosan". Tetapi, ada rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh hakim. Dengan demikian gugatan dalam format CLS tak layak untuk diperiksa dan diadili oleh pengadilan.
 
Kedua, dalam tataran teorits-praktis maka ada beberapa karakteristik yang menjadi persyaratan dalam mekanisme gugatan CLS. Pertama, tergugat dalam gugatan CLS adalah penyelenggara negara. Mulai dari Presiden hingga kepada pejabat negara lainnya di bidang yang dianggap telah lakukan kelalaian. 

Pihak yang bukan penyelenggara negara tidak boleh dimasukkan sebagai pihak. Jika ada pihak lain (individu atau badan hukum) yang ditarik sebagai tergugat atau turut tergugat maka gugatan demikian bukanlah gugatan CLS lagi. Karena, ada unsur warga negara melawan warga negara. Gugatan tersebut menjadi gugatan biasa yang tidak dapat diperiksa dengan mekanisme CLS. 

Dalam gugatan DT salah satu pihak yang digugat adalah PSSI (dan juga PT Nike) yang bukan merupakan penyelenggara negara. Sehingga, tidak mungkin diharapkan mengeluarkan kebijakan yang bersifat mengatur.
 
Karakteristik yang menjadi syarat kedua adalah perbuatan melawan hukum yang didalilkan dalam gugatan CLS adalah kelalaian penyelenggara negara dalam pemenuhan hak-hak warga negara. Dalam hal ini harus diuraikan bentuk kelalaian apa yang telah dilakukan oleh negara dan hak warga negara apa yang gagal dipenuhi oleh negara.

Jelas, dalam gugatan CLS ini, PSSI tak dapat dianggap lalai memenuhi kewajibannya terhadap perlindungan hak warga negara. Sekali lagi karena bukan penyelenggara negara. 

Ketiga, tuntutan dalam CLS hanya berisi permohonan agar negara mengeluarkan suatu kebijakan yang mengatur umum agar perbuatan melawan hukum berupa kelalaian dalam pemenuhan hal warga negara tersebut di masa yang akan datang tidak terjadi lagi. Walaupun secara tertulis di tuntutan gugatan hal demikian yang diminta oleh DT, tetapi, oleh karena syarat pertama dan kedua telah tidak dipenuhi, maka syarat ketiga ini pun tak lah mungkin bisa terpenuhi.
 
Apabila kita meninjau dari sisi kemanfaatan sebenarnya pengajuan gugatan CLS ini kadarnya lemah. Tentu tak ada maksud dari PSSI untuk merendahkan simbol negara.

Semangat penggunaannya, sama seperti dasar pembentukan UU itu sendiri, perlindungan agar simbol negara tak dilecehkan oleh siapa pun, tetap agung, mencerminkan kemuliaan dan kehormatan bangsa. 

"Tuah Garuda" sebagai diharapkan mampu mengaliri "darah juang" para punggawa Timnas untuk bermain sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya. Mereka berjuang bukan untuk dirinya sendiri, bukan untuk PSSI, melainkan untuk kejayaan Republik. 

Jiwa "melawan hukum" sesungguhnya tak semata diperiksa secara formil dari pasal-pasal apa yang ditabrak. Namun, perlu digali dari "suasana batin" yang bersemayam hidup di masyarakat. 

Tak bisa kita membaca undang-undang tersebut secara hitam putih: oh, undang-undang melarang begini dan begitu, lalu secara kaku kita terkurung dalam "kotak kebekuan". Hal seperti inilah, yang kalau mau "diilmiahkan" lagi, dikenal dengan sebutan "fungsi negatif" dalam teori perbuatan melawan hukum.

Maksudnya, walaupun perbuatan tersebut (apabila dibaca dengan semangat kaku dari undang-undang) memang bertabrakan. Namun, apabila tindakan tersebut digunakan demi kemaslahatan umum, bahkan nasion, maka hal tersebut dibenarkan. 

Kekhawatiran tercederainya "kehormatan garuda", gara-gara, misalnya robeknya baju punggawa Timnas, tentu merupakan sebuah kekhawatiran yang rasanya agak berlebihan. Kehormatan, Kebanggaan, dan Kemuliaan "Garuda", bukan semata-mata secara fisik melekat pada simbol tersebut. Namun, terukir pada jiwa sanubari dan tindak tanduk para warga negara. 

Itu mengapa kita lebih bangga dan takzim kepada Punggawa Timnas Sepakbola yang walaupun misalnya kalah bertanding namun telah berjuang sehebat-hebatnya daripada melihat pejabat (entah itu anggota DPR, Menteri, Gubernur, dan lain sebagainya) yang menggunakan "pin berlambang Garuda", namun ternyata melakukan praktik korup. 

Soal baju yang robek (dan lambang garuda ikut sobek) itu persoalan yang terlalu menyederhanakan. Bahkan, mengecilkan kehormatan lambang negara itu sendiri. Betapa "kerdilnya" kehormatan bangsa ini jikalau diukur dari penggunaan "lambang negara" semata. 

Harap dicatat, jangankan baju yang robek, jiwa raga saja dikorbankan untuk membela kehormatan Garuda dan Merah Putih. Mungkin para pahlawan yang mendahului kita akan tertawa ngakak sambil menangis pilu tersayat-sayat karena kita ternyata "jatuh" ke dalam "simbolisme dangkal". 
 
Tragedi hukum terjadi ketika kita berusaha untuk merumuskan dengan tepat hal-hal dan perilaku yang ada dalam masyarakat ke dalam teks, melalui ranah kebahasaan dan permainan bahasa. Hukum telah cacat sejak lahir karena ketidakmampuannya untuk merumuskan dengan tepat, menangkap "spirit" masyarakat yang dinamis ke dalam sebuah Undang-Undang. 

Hukum suatu bangsa bukan merupakan himpunan sejumlah besar peraturan. Melainkan suatu bangunan yang berwatak dan bermakna. Agar dia berwatak, bermakna, dan hidup, maka dalam penegakannya perlu penafsiran yang "peka" terhadap pandangan hidup masyarakat. Sesungguhnya hukum ada bukan untuk dirinya sendiri. 

Mungkin ada yang "keliru" atau banyak keterbatasan bahkan kejanggalan dalam penyusunan undang-undang. Sampai-sampai memang agak berlebihan dalam memberikan ancaman (bahkan pidana). Tetapi, memang sebagaimana yang disampaikan bahasa selalu mengalami keterbatasan merangkum semua hal. 

Di sinilah penemuan hukum (interpretasi) menemukan tempatnya. Mari tanya, pilih mana: lambang Garuda di baju Timnas atau foto ketua umum PSSI?

Bobby R Manalu
Jl Cemara Gg Flamboyan Jakarta
bob_lawyer03@yahoo.com 
08174128116

 

=============================================

Jamaslin James Purba (Mr.)

JAMES PURBA & PARTNERS

WISMA NUGRA SANTANA 12th Floor S.1205

Jl. Jend. Sudirman Kav. 7-8, Jakarta 10220

Website: www.jpplawyer.com

Phone: 62-21-5703844 Fax 62-21-5703846

==============================================

 

__._,_.___
Recent Activity:
SARANA MENCARI SOLUSI KEADILAN HUKUM DI INDONESIA
Mailing List Hukum Online adalah wadah untuk saling bertukar pikiran dan berkonsultasi untuk saling membantu sesama. Isi diluar tanggung jawab Moderator.

Sarana berdiskusi dengan santun, beretika dan bertanggung-jawab serta saling menghargai dan tidak menyerang hasil pemikiran orang / pendapat orang lain.

Salam Hukum Online
.

__,_._,___

No comments:

Google