Seperti pernah saya sampaikan pada diskusi2 terdahulu, masalah perlakuan terhadap PKWT agak rumit. Kalaupun kita minta penengah dari Disnaker ada kemungkinan setiap daerah menginterpretasikan suatu aturan secara berbeda (seperti pernah saya alami). Biasanya saya selalu membuat perjanjian kerja PKWT secara rinci mengenai hal2 yang sifatnya masih sumir, termasuk masalah cuti, THR, bagaimana kalau berhenti / diberhentikan, apa saja hak2 mereka (juga terhadap fasilitas yang diterima) dsb. Copy konsep kontrak ini ada di Disnaker setempat dan mereka approve sebelum kami terapkan. Dengan demikian maka kami tinggal sodorkan apabila ada PKWT baru (perubahan paling dinilai nominal) kami baru laporkan ke Disnaker setempat setelah karyawan masuk kerja.
semoga langkah ini bisa di tempuh rekan2 sehingga tidak mendapat kendala saat menghadapi aturan2 yang sifatnya sumir.
salam
--- Pada Sel, 13/10/09, Irman Khalif <irmankhalif@yahoo.com> menulis:
Dari: Irman Khalif <irmankhalif@yahoo.com> Judul: Re: [Diskusi HRD Forum] Mohon saran mengenai Kotrak Kerja Kepada: Diskusi-HRD@yahoogroups.com Tanggal: Selasa, 13 Oktober, 2009, 2:12 PM
Pak Mangara,
Saya setuju untuk melaksanakan aturan UU dengan benar, tetapi interpretasi hukum juga tidak boleh sepihak karena akan rancu dalam implementasi di lapangan serta membingungkan dalam prakteknya. Dalam diskusi sebelumnya memang dibahas mengenai masalah PKWT berkaitan dengan pesangon, tetapi bukan berarti semua perusahaan harus menganut itu, apalagi pada prakteknya tidak seperti demikian (hukum kebiasaan), kecuali secara tersirat disebutkan bahwa PKWT harus diberikan pesangon.
Minggu lalu saya kembali menangani kasus PKWT di disnaker dan secara tegas bagian hubungan industrial di disnaker menyatakan bahwa karyawan PKWT tidak berhak pesangon dan hanya ganti kerugian.
Dari UUnya sendiri memang kurang jelas, yang saya ketahui dalam sosialisasi UU pada awal2 pemberlakuan yang saya tangkap maksud UU dalam pembedaan status permanent dan PKWT: - Permanent Berhak pesangon dan perusahaan wajib memberikannya - PKWT tidak berhak pesangon dan perusahaan tidak wajib memberikannya jika kontrak berakhir hanya ganti rugi jika diputus ditengah kontrak. Dari situ dibuatlah draft PKWT yang isinya adalah: Perjanjian adakan berakhir dengan sendirinya pada tanggal..... ......... ...tanpa adanya kewajiban apapun dari pihak perusahaan.
Jika memang semua jenis karyawan berhak, sebetulnya tidak ada faedahnya membagi jenis2 status tersebut karena putus kontrak berarti pesangon tanpa kesalahan. Jika yang jadi alasan adalah hanya masa bekerja, perusahaan akan lebih senang mempermanenkan karena tidak akan membebani administrasi HR dalam hal kontrak2 karyawan (administrasi dan monitoring kontrak). Intermezo: bayangkan saja perusahaan konstruksi yang mempunyai karyawan kontrak harian, bulanan, borongan harus membudgetkan pesangon karena semuanya karyawan, kasihan quantity surveyornya karena harus memasukkan pesangon dalam upah civil worker, lama-lama perusahaannya ga dapat order karena penawarannya berbiaya tinggi.
Yang harus diingat adalah meskipun HRD dituntut untuk mengikuti 100% UU ketenagakerjaan, tetapi dari perusahaan kitapun dituntut untuk jeli mengaplikasikannya supaya tidak merugikan perusahaan, jika memang fakta dilapangan menyebutkan tidak perlu diberikan pesangon, sungguh tidak bijak jika kita ajukan pesangon untuk karyawan tersebut dengan alasan hukum tidak menyebutkan secara jelas bahwa PKWT tidak berhak pesangon.
Mungkin lebih baik kita konfirmasi ke pembuat UUnya atau lembaga yang berwenang menafsirkannya, sehingga kita bisa tahu apakah salah pembuat UU yang kurang jelas dalam hal ini ataukah salah implementasinya.
Maaf Pak Mangara bukan berarti menafikan penafsiran anda saya hanya ingin kebenaran yang sesungguhnya supaya tidak rancu pada prakteknya.
Rgds,
Irman Khalif
From: Mangara Sidabutar <mangara_sdb@ yahoo.com> To: Diskusi-HRD@ yahoogroups. com Sent: Tue, October 13, 2009 11:32:45 AM Subject: [Diskusi HRD Forum] Mohon saran mengenai Kotrak Kerja Dear rekan sekalian, Saya harap agar kita hati-hati dalam memahami istilah dalam aturan hukum yang ada. Jika disebutkan "wajib", maka diminta atau tidak diminta pihak-pihak yang terkait itu harus melaksanakannya. Jadi kata "wajib" tidak ada hubungannya dengan hak. Karena "wajib" bersifat imperatif (keharusan) sedangkan hak bersifat fakultatif (alternatif, tergantung si pemilik hak tersebut). Dan kata wajib di sini juga normatif, artinya tidak bisa dikesampingkan oleh kesepakatan para pihak. Perlu diingat, bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah "causa" yang halal. Artinya, apa yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan suatu sebab/dasar yang berlaku. Ini juga berkaitan dengan good corporate governance dalam perusahaan, karena jika dilakukan audit maka seharusnya penahanan pembayaran ini menjadi audit issue. Selanjutnya kalau usaha kita mau terus langgeng, berkembang dan diridhoi oleh Yang Maha Kuasa, maka kita harus melaksanakan kewajiban kita dengan sebaik-baiknya dengan menyerahkan apa yang seharusnya diterima oleh karyawan.
Mengenai asumsi bahwa karyawan PKWT tidak berhak atas pesangon sudah kita bahas panjang lebar pada diskusi beberapa waktu yang lalu. Sudah jelas diatur dalam UU 13/2003 bahwa ketentuan PHK tidak dibatasi hanya untuk karyawan PKWTT saja, tetapi secara umum disebutkan di situ hanya menggunakan istilah "karyawan". Dan sampai saat ini tidak ada satu ketentuan pun yang menyatakan secara eksplisit bahwa karyawan PKWT tidak berhak atas pesangon. Demikian tanggapan saya. Mangara Sidabutar
____________ _________ _________ __ From: P. Supriyono <p.supriyono@ yahoo.com> To: Diskusi-HRD@ yahoogroups. com Sent: Mon, September 28, 2009 11:10:11 AM Subject: Re: [Diskusi HRD Forum] Mohon saran mengenai Kotrak Kerja
Dear rekan,
Undang-undang memang mewajibkan untuk memberikan ganti kerugian (sebesar sisa kontrak) jika kita memutuskan kontrak kerja sebelum masa berlakunya berakhir. Tetapi menurut saya, undang-undang juga tidak melarang bagi kita untuk tidak mengunakan hak kita berkaitan dengan pemutusan kontrak. Maksud saya, kita bisa saja melepaskan hak kita untuk menuntut ganti rugi terhadap pihak lain yang melakukan pemutusan perjanjian kerja. Jadi jika ada pihak lain yang melakukan pemutusan hubungan kerja sebelum masa berlakunya berakhir, maka bagi kita ada dua pilihan : 1. meminta ganti rugi, atau 2. tidak meminta ganti rugi kalau kita tidak meminta ganti rugi, maka sekarang keputusan ada di pihak lain tersebut (yang memutus kontrak), mau memberi ganti rugi atau tidak. Dan melihat kecendurangan orang dalam praktek, maka pihak lain tersebut biasanya tidak akan memberikan ganti kerugian (jelas.... wong tidak diminta)
Kesimpulannya, bahwa kata wajib itu tergantung dari kesepakatan dan kesadaran masing-masing pihak. Para pihak dapat tidak menggunakan adanya hak untuk menuntut pemenuhan kewajiban tersebut (memberikan ganti rugi). Tetapi jika salah satu pihak menggunakan hak tersebut (meminta ganti rugi) maka pihak lain yang memutus kontrak wajib membayar sisa kontraknya.
Salam,
--- Pada Sab, 26/9/09, marlisa kurniaty <marlisa_kurniaty@ yahoo.com> menulis:
>Dari: marlisa kurniaty <marlisa_kurniaty@ yahoo.com> >Judul: Re: [Diskusi HRD Forum] Mohon saran mengenai Kotrak Kerja >Kepada: Diskusi-HRD@ yahoogroups. com >Tanggal: Sabtu, 26 September, 2009, 6:10 AM > > > >Dear bapak-bapak & ibu-ibu, > >mohon konfirmasi mengenai hal dibawah ini. Disebutkan sebelumnya bahwa: > >"2. Apakah kita wajib membayar sisa kontrak nya tersebut ? (Walaupun dalam kesepakatan kerja telah dicantumkan bahwa bila tidak memenuhi KPI tersebut ybs dapat diputus kontrak sepihak dan tanpa mendapat pesangon). > >Jawab: Wajib. Prasyarat dalam perjanjian di atas batal demi hukum, karena bertentangan dengan UU Kerja No.13 Tahun 2003 khususnya mengenai PHK" > >Setahu saya untuk pegawai kontrak waktu tertentu memang tidak mendapatkan pesangon. Tapi mengapa disebutkan 'tidak akan mendapatkan pesangon' dalam kontrak tersebut jika terjadi pemutusan hubungan kerja...? kata "PESANGON" disini bukankah akan membingungkan? > >____________ _________ _________ __ >From: Mangara Sidabutar <mangara_sdb@ yahoo.com> >To: Diskusi-HRD@ yahoogroups. com >Sent: Tuesday, September 22, 2009 1:18:59 PM >Subject: [Diskusi HRD Forum] Mohon saran mengenai Kotrak Kerja > >Rekan Arie dan rekan milis lainnya, > >Sebelumnya mohon maaf kalau mungkin respon ini agak terlambat, maklumlah... saat ini kondisi sangat "tight". > >Untuk pertanyaan rekan Arie saya jawab di masing-masing pertanyaan di bawah: >____________ _________ _________ __ >From: Arie Kriswaldi <arie_kriswaldi@ yahoo.co. id> >To: diskusi-hrd@ yahoogroups. com >Sent: Friday, September 11, 2009 10:30:20 AM >Subject: [Diskusi HRD Forum] Mohon saran mengenai Kotrak Kerja > >Dear Milister, > >Mohon saran jika management ingin menghire sales manager dengan system kontrak selama 2 tahun, apakah : > >1. Jika dalam kurun waktu kurang lebih 8 bulan ybs ternyata tidak dapat memberikan performa kerja yang baik, dan telah disepakati dalam KPI untuk pencapaian sales target per bulannya dia tidak dapat memenuhi, apakah kami dapat memutus kontraknya karena pertimbangan business perusahaan yang memang sedang pailit. > >Jawab: Dapat. > >2. Apakah kita wajib membayar sisa kontrak nya tersebut ? (Walaupun dalam kesepakatan kerja telah dicantumkan bahwa bila tidak memenuhi KPI tersebut ybs dapat diputus kontrak sepihak dan tanpa mendapat pesangon). > >Jawab: Wajib. Prasyarat dalam perjanjian di atas batal demi hukum, karena bertentangan dengan UU Kerja No.13 Tahun 2003 khususnya mengenai PHK. > >3. Jika memang harus diberikan sesuai kontraknya yaitu 2 tahun, apakah juga harus mendapatkan pesangon sesuai pasal 156, 162 UU 13/2003? > >Jawab: Ya. > >4. Apa sangsi bila kita tidak membayarkan apapun dan ybs sudah menyatakan setuju. > >Jawab: Untuk kasus ini, tidak ada sanksi pidana maupun sanksi administratif berdasarkan UUK 13/2003. Hanya saja, secara praktek hukum hal ini membuka kemungkinan mendapatkan gugatan hukum (perdata dan/atau ketenagakerjaan) maupun laporan pengaduan (pidana), baik dari si karyawan atau keluarganya, maupun serikat pekerja dan pihak-pihak lain yang berupaya untuk menekan pengusaha. Dan posisi perusahaan yang tidak melaksanakan UU tentu sangat lemah jadinya. Bisa juga berharap adanya keberuntungan bahwa gugatan dan/atau pengaduan ini tidak terjadi. > >Catatan: Penjelasan di atas lebih ke ketentuan teknis yang mengatur ya. Tapi sebetulnya saya masih ragu bagaimana menjelaskan bahwa posisi Sales Manager tersebut adalah posisi yang memang esensinya adalah posisi untuk PKWT? Kecuali memang posisi Sales Manager tsb muncul karena adanya produk baru misalnya. Karena kalau tidak bisa dijelaskan dengan justifikasi yang pas, maka seharusnya posisi tsb adalah PKWTT. > >Bila ada saran ataupun pengalaman Pribadi boleh di share. >Terima kasih sebelumnya. > >Regards, >Arie
|
No comments:
Post a Comment